Jumat, 19 Mei 2017

Pergilah

Sadarlah aku bukan segalanya, dan aku takkan selalu ada. Semakin kau dekap maka semakin terlukalah kamu. Kamu tahu perjalanan cintaku penuh luka. Ini peringatan walau menyakitkan. Yang kau harap menyembuhkan malah menyakitkan.
Kata mu cinta adalah tentang perjuangan namun menyerahlah perjuangan mu tak lagi dihargai.
Yang kau puja hanya sia sia, tak berharga.
Lelah sudah? Menyerah? Terserah.
Kamu tau sekarang semua hanya bualan.
Semua yang kau telan begitu manis hanyalah dusta.

Aku tak lagi bisa merasakan hangat dan manisnya cinta, hingga aku dapat mencintai diriku sendiri. Hingga aku dapat mencintai orang lain, tanpa menjadi 'orang lain'.

Untuk kamu,
Terimakasi atas usahamu.
Maka,
Tinggalkan saja aku ini, si pendosa penuh luka.

Jarak dan Waktu

Waktu terus berjalan, tak melihat kebelakang siapa yang terluka dan siapa yang disembuhkan lukanya. Jarak terus terbentang, tanpa memikirkan siapa yang dipisahkan dan seberapa banyak rasa rindu ada karenanya. Mereka tak pernah perduli apa yang sedang dan sudah terjadi. Apa kamu tahu, kenapa aku membicarakan waktu dan jarak? Mereka ada di sekeliling kita. Membuat luka lalu menyembuhkannya, memisahkan kita lalu mempertemukannya.

Jarak mengajarkan kita seberapa setianya kita untuk kembali 'pulang', juga menguji kesabaran akan rintangan. Aku rasa, yang telah kita lalui selama ini hanya menentangnya. Membuatnya menjadi halangan, padahal hari yang kita lalui bukan hanya seminggu atau satu bulan. Tapi, masalah terbesar kita selalu terjadi karenanya. Tidakkah kamu berfikir? Dengan adanya jarak kita sering merasa rindu, memiliki ruang sendiri, mengurangi rasa bosan. Nyatanya? Sebaliknya. Bukan aku ingin kita tak sering bertemu, tapi aku rasa aku juga butuh ruang sendiri. Menghalangkan rasa penat dan sesak. Berhenti memperumit hubungan, bahkan waktu masih belum menyembuhkan. Telalu lama aku bertahan dengan rasa sakit. Tidakkah kamu lelah?

Jika keadaannya tak pernah membaik, bagaimana caranya aku bertahan atas semua rasa sakit?

Matahariku

Teruntuk matahariku, aku tak pernah menyesal akan takdir. Aku senang kamu hadir. Memberi rasa hangat dan nyaman. Kamu pendatang paling mahir, dan aku harap kamu yang terakhir.

Aku tak ingin menaruh hati terlalu dalam. Katamu, "Jangan berharap lebih dari seseorang, liat diri kamu sendiri apa yang kamu mau harus kamu kejar dengan usaha kamu sendiri". Kamu benar, hidup itu soal pilihan bukan?

Jika malam ini, esok atau nanti kamu mengakhiri, hanya satu yang ingin aku ketahui, tetaplah menjadi apa yang kamu inginkan; hidup untuk orang lain. Perjuangkan apa yang layak kau perjuangakan. Kamu tahu bukan mana yang pantas mana yang tidak?

Atau kemungkinan terburuknya, jika aku yang mengakhiri. Ketahuilah, langitmu ini pernah melewati masa abu-abunya; langitmu ini pernah kau sinari.

Matahari, terimakasih selalu menyinari.

Selasa, 02 Mei 2017

Dingin

Sepanjang sore ini kotaku diguyur hujan, deras sekali lalu mereda; namun tidak benar-benar berhenti. Sialnya aku tak membawa pakaian hangat, hanya memakai pakaian tipis dan tudung kepala. Angin bertiup kencang menerpa tudungku. Mukaku terkena rintik hujan. Bajuku yang tipis mulai basah.

Tak masalah sebenarnya, selama aku bersamanya. Tapi percuma, dia sama dinginnya seperti cuaca. Tatapannya tak bersahabat. Tak ada genggaman. Apalagi dipinjamkan baju hangat, menengok pun tak pernah. Jemariku membeku. Badanku menggigil. Tak ada kehangatan.

Dingin, merasuki tubuh ini. Sesak, padahal banyak angin berlalu. Aku tak banyak berharap, tak perlu kau dekap. Hanya ingin bercakap, lama kita tidak bertemu bukan? Terakhir kita bertemu, kamu dalam amarah. Sama seperti sore ini. Menyesakkan.

Sore ini, kotaku diguyur hujan. Dingin. Tak ada kehangatan.

Hidup adalah Masa lalu?

Mungkin memang aku terlalu lama mengenang dan berteman dengan masa laluku, hingga tiap bayang bayangnya menghantui aku tidak lelah untuk ter...