Selasa, 11 Agustus 2020

Hidup adalah Masa lalu?

Mungkin memang aku terlalu lama mengenang dan berteman dengan masa laluku, hingga tiap bayang bayangnya menghantui aku tidak lelah untuk terus berlari. Sampai dimana ia akan kembali datang dan aku terjerat dengan apa apa yang kusebut sudah berlalu. Hari kemarin biar menjadi diriku yang kemarin, yang perlu dipersiapkan adalah hari esok, lusa dan seterusnya. Tapi seperti bayangan ia selalu ada di belakangku dan mengiringi. 

Seperti apa sebenarnya memaafkan masa lalu? Memaafkan diri sendiri atas apa yang sudah diperbuat kala itu? Seperti apa sebenarnya merelakan masa lalu? Membiarkan ia bahagia dan menempuh hidupnya yang baru tanpa diriku? Perasaan seperti apa sebenarnya, lega? Puas? atau apa? Aku tidak pernah benar benar tahu, sebab apa apa yang ada di benak tidak mudah menghilang begitu saja, setiap kenangan dan memori yang pernah ada tidak akan pergi begitu saja, bahkan hampir seluruh hidupku adalah masa lalu, masa kini adalah hari ini saja, masa depanku hanya hari esok saja. Sisanya? adalah masa lalu bukan? Sebab esok adalah hari hari yang tidak pernah kuduga, hari hari yang tidak pasti, hari hari yang tidak bisa kutulis dengan akhir yang lebih bahagia.

Meski begitu, hidup tetap harus berjalan. Beriringan dengan yang lalu untuk hal hal yang akan datang. Mempersiapkan diri, meneguhkan hati, membuka mata untuk esok hari dan tetap bertahan hidup sampai waktu yang tidak diketahui. Setidaknya untuk diri sendiri, jika memang tidak ada lagi seseorang yang mendampingi, setidaknya untukku sendiri. Menjadi bahagia, menata kembali untuk diriku yang seutuhnya. Mempersiapkan diri untuk besok yang kita sebut masa depan. Meski sekali lagi, tidak ada kepastian bahwa masa depan adalah aku yang lebih bahagia, bahwa masa depan adalah akhir cerita yang diimpi impikan. Tapi semua masih bisa diusahakan, bukan? Yang bisa diubah adalah nasib kita yang sebenarnya mau seperti apa. Bukan masa lalu yang sudah terjadi dan kita lewati. Yang bisa diubah adalah diri ini mau dibentuk seperti apa, dan yang menentukan adalah aku sendiri. Sisanya bagaimana Yang Maha Kuasa. Meski belum tentu lebih baik, belum tentu lebih benar setidaknya aku harus terus belajar dan membenahi yang sudah terlanjur hancur.

Kata seseorang masa lalu untuk dipelajari bukan untuk dikenang. Tapi sebagaimana kita mempelajari sesuatu begitu pula kita harus mengingat bukan? Untuk memahami, untuk lebih mengerti. Dengan begitu kita bisa menjadi lebih paham atas kejadian penting apa yang bisa dijadikan pelajaran. Akui saja, sebagian besar yang ada di otak manusia adalah kenangan. Jelas sekali, karena masa depan hanya angan-angan, adalah mimpi yang akan kalian kejar, adalah hasil yang tidak kita ketahui. Jadi, aku hidup dengan masa laluku untuk masa depan. Kita saling beriringan. Bahkan tanpa masa lalu itu, tidak ada aku disini menulis cerita yang panjang.

Jumat, 17 Juli 2020

Akhir Cerita yang Nyata

Kali ini aku ingin kembali menulis. Perihal apapun yang ada di benakku.
Sudah cukup lama aku tak kembali menari-nari di atas keyboard laptop ku. Mencurankan isi dari kepalaku. Jadi begini, beberapa bulan yang lalu aku bertemu seseorang, yang begitu jujur dengan segala kebohongannya ia cukup menarik dan cukup buruk. Pertama kali bertemu di kedai kopi sederhana dekat kampusku, Bandung. Aku yang menutup diri ini tak ingin langsung terlihat tertarik di hadapannya namun seiring berjalannya waktu dia mampu meyakinkanku. Dengan segala ucapannya yang manis. Aku percaya, aku memang begitu mudah untuk percaya kepada seseorang tapi semua itu terjadi begitu saja.

Kemudian kami memutuskan untuk bersama. Hampir genap dua bulan setelah ku kirim sebuah email untuknya, sebuah pernyataan bahwa aku ingin bersamanya lebih lama. Banyak sekali hal yang kami lewati. Perihal apapun kami bicarakan, sebab sedari awal kami sepakat untuk terbuka dan mendiskusikan apa yang ada di kepala masing-masing.

Bulan April tahun 2020, menjadi hal terberat di awal tahun ini. Akan ada dimana kita harus berjarak dan tidak bertemu dalam waktu yang lama. Bulan Ramadhan, adalah kepulanganku ke kota hujan. Tak apa, aku sudah meneguhkan hati dengan jarak ratusan kilo meter nanti, pun dengan dirimu yang berjanji akan kembali. Ternyata bulan penuh keberkahan tahun ini menjadi akhir dari cerita kita. Begitu cepat sekali, dengan segala kenangan yang ada kepergianmu secara tiba tiba sulit untuk kuterima.

Tiga bulan setelahnya, kulanjutkan tulisan ini dengan akhir cerita yang nyata. Dengan perasaan parau dan kamu yang abadi di dalam benak. Adalah kita bedebah yang nyata, mempertahan sesuatu yang fana, percaya akan cerita yang selamanya serta yakin akan omong kosong belaka.

Jumat, 06 Juli 2018

Berakhir Cepat

Siapa sangka? laki laki yang kau perhatikan dari jauh, kini bisa begitu dekat dengan mu.
Kala itu aku bertemu dengannya. Melihatnya sekelibat, mentapnya diam diam, sebatas itu tanpa pernah berfikir untuk mendekat. 

Tapi, takdir mempertemukan kita disuatu malam yang dingin, bersama kepulan asap rokok dari bibirnya. Aku yang lebih dulu memperkenalkan diri, berusaha mencairkan suasa yang kaku. Saling bertukar cerita tentang pengalaman hidup. Di balkon hotel di kotanya, hingga larut malam kita masih bercengkrama. 

Keesokan harinya kita semakin dekat. Ditemani dua cangkir kopi yang sudah dingin dan obrolan yang semakin hangat. Hingga fajar memperlihatkan dirinya, aku masih bisa melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Bukan, ini bukan pertemuan yang pertama dan terakhir. Tapi ini awal dari cerita kita.
Hingga akhirnya kita berpisah, tanpa mengaharap suatu pertemuan untuk kedua kalinya.

Satu bulan kemudian, dia memberanikan diri pergi meninggalkan kotanya untuk sebuah pertemuan. Sebuah pengorbanan katanya. Begitu rindu, padahal kita hanya sekali bertemu. Lucu sekali, kala itu dia bertindak seperti ingin selalu bersama. Mendekat, mendekat, terus mendekat. Senyumnya selalu dalam bayang.  Lagi lagi tengah malam, keliling kota hujan mencari jalan. Pukul dua malam, kita bercengkrama diawang awang. Tertawa tanpa sebab. Pikiran melayang, yang aku ingat malam itu ada tubuh yang bersandar dengan lemas. Hingga suara adzan berkumandang, aku masih bisa melihatnya disebelah. Terlelap. 

Begitu pertemuan pertemuan selanjutnya, penuh pengorbanan. Kali ini aku yang pergi ke kotanya. Melepas rindu yang telah menggebu. Lebih dekat. Begitu hebat, dia bisa membuat aku buta akan cinta. Tidak perduli seberapa jauh aku melangkah. Aku hanya ingin berada didekatnya, lebih lama. Namun semua seperti kesia siaan, perjalananku tak mampu membuatnya bertahan lebih lama. Dia memilih untuk menyerah akan jarak yang memisahkan.
Pertemuan singkat tidak cukup untukku mengenalnya lebih jauh, aku masih menjadi orang baru di hidupnya, orang asing. Hingga dia memilih jalan yang berbeda. Menjalani hari tanpanya lagi bukan perihal mudah. Membiasakan tanpa kehadirannya, tidak ada lagi pesan pesan darinya atau obrolan panjang hingga larut malam. Semua menghilang.

Dan akhir dari cerita ini berujung disebuah kebahagiaan, untuknya. Dia sudah mendapatkan wanitanya sedangkan aku masih sibuk untuk melupakannya.
Perkenalan singkat berakhir cepat. Seharusnya tidak butuh waktu lama untuk melupa, bukan?

Jumat, 22 Desember 2017

Setitik Cahaya Datang

Kala itu, aku membuka diri. Setelah meninggalkan dan mengakhiri.

Setitik cahaya datang, remang remang mulanya. Masih abu abu nan kelabu. Aku bahkan tak tahu itu salah satu kesempatan atau kesalahan. Untuk ku yang kesepian, hadirnya Tuan memberi kembali warna yang sempat hilang. Begitu mudah terbawa perasaan, tanpa pernah mengenal dengan siapa aku ini berjalan beriringan dan dengan maksud apa Tuan ini datang.
Singkat untuk saling dekat, dengan dua cangkir kopi yang mulai dingin dan percakapan yang semakin hangat. Tawa yang selalu ada di akhir kalimat. Dan, ketika setitik cahaya penerang itu datang, ku anggap ini sebuah kesempatan. Untuk kembali melihat dan mendengar apa yang ada di sekeliling. Untuk kembali jatuh, cinta lagi.

Ternyata ketika sudah jatuh masih belum cukup untuk mempertahankan yang ada. Begitu singkat sebuah pertemuan pun begitu cepat berpisah. Tatkala yang kurasa kita benar benar sudah terbiasa bersama, dan memiliki berbagai hal yang sama. Itu semua bukanlah hal yang berarti baginya, bukan pula alasannya untuk mentap, lebih lama.

Datang memberi setitik cahaya penerang malam, lalu pergi tanpa pernah kembali.
Meski harus kembali mengakhiri, kisah ini begitu berarti.
Untuk Tuan, teman penikmat kopi hitam paling menyenangkan.

Sabtu, 04 November 2017

Perihal Mengerti dan Tahu Diri

Setelah sembilan hari berlalu. Setelah kamu memberi kejelasan dari kesemuan. Dan, setelah itu pula aku baru tahu. Bahwa aku tak mampu.

Tak ada malam yang lebih dingin dari menunggunya Tuan untuk pulang. Tanpa pesan, tanpa pernah memberi tanda ketika pergi. Tak ada hari yang paling sepi dari menggunya Tuan memberi kabar. Sepele memang. Perihal ini bisa dimengerti. Tapi, berhari hari menanti jadi tekanan hati.
Tak seperti kepada wanitanya yang dulu, Tuan ini penurut; takut. Tak seperti kepada masa lalunya, Tuan ini sangat mencintainya.

Kali ini perihal mengertiku tentangmu. Yang ingin begitu bebas tanpa ditekan, semena mena pergi lalu ntah kapan kembali. Puan ini hanya bisa menunggu termanggu. Miris, cintanya seolah tak terbalas, penuh kenestapaan. Sebenarnya Tuan ini mengakui tidak hadirnya Puan? Ada yang selalu menunggu Tuan. Apa susahnya memberi tanpa diminta? Seperti awal bertemu, Tuan selalu menemani tanpa pernah Puan minta. Hadirmu Tuan, yang paling diharapkan.

Dan, perihal tahu diri. Jikalau Tuan ingin membebaskan diri, Puan mengerti, Tapi sekiranya, bukan seenaknya. Puan hanya ingin dihargai, sebagai wanita yang benar benar Tuan cintai.

Rabu, 04 Oktober 2017

Kembali lagi

Setelah sekian lama aku rasa perasaan ini akan memudar. Ternyata kamu hanya dapat kuingat daripada kulupa. Kepergianmu menyisakan banyak luka. Bahkan aku masih mengenang segala yang pernah ada tentang kita. Terlebih berada di kotamu, seakan buatku kembali pulang ke dalam dekapmu. Walau tubuhmu tak lagi dapat kujamah, walau kamu lebih memilih bersamanya.

Teringat kota kembang ini pernah membahagiakan sekaligus menyakitkan. Melewati jalanan yang pernah kita lalui, membayangkannya kembali terasa sangat menyakitkan teringat kamu bukan lagi untukku dekap, bukan lagi tempat untukku pulang.

Kamu butuh waktu untuk melupakanku, katamu. Tapi aku tak pernah mampu untuk sekadar menghilangkan kamu dari benakku. Mengapa begitu sulit untuk melupa? Sedangkan kamu sudah berbahagia. Ku coba mencari pengganti, tapi dia bukanlah dirimu. Ku coba berlari menjauh, tapi langkahku selalu mengarah padamu.

Sabtu, 30 September 2017

Tanpamu Kini hingga Nanti

Hati ini kalut, terus berdebar. Pikiranku tak karuan, senyum terus mengembang setiap pertemuan.
Kamu, pemberi rasa tegar. Penguat hati paling andal.

Hari demi hari kita lewati. Melukiskan pelangi setelah hujan. Menghilangkan rasa sesal yang tersimpan. Memberi payung sebelum langit menjatuhkan airnya. Menjaga hati yang tlah rusak olehnya. Sesederhana itu kita saling melengkapi. Berbagi sakit yang dialami, menggantikannya dengan senyum dan tawa. Walau kadang langit tak secerah biasanya, malam tak lagi terasa tenang seperti biasanya. Hadirmu, mampu mengubah mendung dan malam kelam itu. Sesederhana itu, hadirmu mampu mengubah hariku.

Hingga suatu saat. Tanpa adanya tanda, kau pergi ntah kemana. Tanpa memberi isyarat bahwa kau tak lagi ada. Hadirmu tak sesering dulu. Senang sekali menghilang. Tanpa adanya penjelasan. Tak mampunya aku, menahan rasa pilu sendirian. Asal kau tahu. Aku ini tak sekuat yang kau pikirkan.

Yang ku percaya selama ini, kau selalu ada. Berjalan beriringan, memikul beban. Kini semua hanya angan-angan. Hanya bayang yang ku lihat, hanya bayang yang ku gapai.

Tak apa hati, kamu harus merasa sepi sebelum ramai. Kamu harus merasa sakit sebelum disembuhkan. Sekarang tinggal bagaimana aku bertahan, dengan atau tanpa kamu untuk menguatkan.

Terbiasalah hati, jangan terus menanti. Terbiasalah tanpa hadirnya, kini hingga nanti.

Hidup adalah Masa lalu?

Mungkin memang aku terlalu lama mengenang dan berteman dengan masa laluku, hingga tiap bayang bayangnya menghantui aku tidak lelah untuk ter...